Pages

Thursday, September 16, 2010

Ifthor Jama'i BSMI Cab. Padang, Ramadhan 1431 H

Hari Sabtu, tanggal 4 September 2010, telah diadakan buka bareng BSMI Cabang Padang. Acara ini sudah disepakati sebelumnya, bahwa akan diadakan di rumah salah satu relawan. Dan langsung, dengan semena-mena, sang relawan yang bersangkutan juga menjadi PJ alias Penanggungjawab acara tersebut. Juga disepakati kami tidak menggunakan jasa catering karena percaya diri dengan kemampuan memasak relawan-relawan senior..(padahal alasan utamanya karena tidak ada dana,,,hhe).
Dimulailah persiapan-persiapan...

Sang PJ meminta jasa seorang relawan yang tak diragukan kemampuannya dalam hal ini untuk membuat undangan. Pake denah segala... Denah yang tadinya kayak gambar anak TK disulap menjadi bagus sekali. Hingga terbitlah undangan yang ditunggu-tunggu,


awalnya disepakati bahwa undangan yang dipublish di fb itu (sekali lagi, demi menghemat dana, undangannya tidak dicetak), akan dibikin 'private'. Hanya bisa dilihat oleh para undangan. Tapi, entahlah berhasil atau nggak.. (berhasil g??)


Kemudian, disepakatilah relawan-relawan yang berada di Padang, dan berkesempatan hadir, untuk datang ke lokasi sejak pagi. Tapi jadinya g pagi-pagi juga, janjinya jam 11. Pagi itu, menu apa yang akan dimasak juga belum diputuskan. Akhirnya pagi-pagi, sang relawan yang jadi PJ beranjak ke pasar pagi untuk berbelanja. Ia beli saja sesuka hatinya.. 3 ekor ayam, bumbu-bumbu dasar, sirup melon, nata de coco, dll..

Pulang ke rumah, ternyata relawan-relawan yang akan datang jam 11 masih belum berdatangan. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 lewat. Katanya ada yang masih menunggu relawan-relawan lain, ada yang masih ada urusan di RS, ada yang ujian skills lab, ada yang kedatangan keluarganya...

Akhirnya relawan yang pertama datang adalah Silfia. Kami pun bersama-sama mencuci ayam. Kemudian disusul Bang Taufik. Bang Taufik lalu sibuk menghubungi yang lain. Tak lama, datanglah para relawan tersebut diangkut oleh puskel BSMI. Ada B
ang Bubuy, Adri, Zakiy, Akhnal, dan Rizky, adeknya Bang Bubuy. Kemudian datang lagi Adik, lalu Benny.

Melihat bahan-bahan yang dibeli si PJ belum lengkap, para koki memutuskan akan berbelanja lagi. Namun, karena takut kulit mereka yang terawat dirusak sinar matahari, juga takut wewangian mereka menguap karena berbaur dengan warga pas
ar tradisional, plus takut merasakan dahaga ekstra karena kepanasan, mereka memutuskan untuk bebrbelanja di foodmart Basko.

Oia Bang Bubuy, ternyata setelah nsa tanya ke Mama, harga cabe saat itu memang sedang turun. Seperempat kg cuma 5 ribu. Jadi emng kemahalan belanja di foodmart, ya iya lah, kita kan mesti bayar pajak dan biaya AC nya. Yang Nsa jawab waktu itu harga cabe waktu Nsa masih di Bonjol,,hhe

Singkat kata, selesailah aneka masakan hingga maghrib menjelang.
Ada gulai ayam, bakwan ungu, cake kering dan cake basah, sambalado ala Akhnal, capcay yang juga didominasi ungu. Untuk lengkapnya tentang menu-menu tersebut, bisa dibaca disini


Alhamdulillah, lumayan banyak orang-orang yang datang... Para relawan bayak yang 'babaso' pas makan..Mungkin bisa jadi evaluasi bagi kita, supaya g prasmanan lagi, biar ga malu-malu lagi ambil makanannya...




BSMI, care for life

Monday, September 6, 2010

Masih Perlukah Wanita Belajar Memasak?


Sebuah pekerjaan rumah tangga yang kini mulai ditinggalkan wanita modern

Hasan mengernyitkan kening ketika menyantap nasi goreng buatan Rahmi, istri barunya. Di bibirnya tersungging sebuah senyum tipis, sementara Rahmi memandang suaminya penuh rasa cemas. Benar dugaannya, hingga kali ketiga ia memasakkan nasi goreng untuk suaminya ternyata belum juga bisa terasa pas di lidah. "Enak...," hibur suaminya sambil meneruskan, "Cuma terlalu asin." Rahmi tersenyum kecut menahan malu.
Setelah hampir sebulan lalu keduanya menikah, baru tak lebih dari dua pekan mereka menempati rumah kontrakannya. Sejak saat itu Rahmi memang harus memasak, mencuci, dan menyeterika sendiri. Pekerjaan-pekerjaan yang tak pernah ia sentuh ketika masih gadis. Ibunya tak pernah mengajarkan pekerjaan-pekerjaan semacam itu kepadanya, dan semasa kuliah pun habis waktunya untuk belajar melulu.
Beruntung, Hasan termasuk suami yang mau mengerti latar belakang kehidupan istrinya, hingga selanjutnya justru Hasanlah yang mengajari Rahmi berbagai resep masakan.

Di era globalisasi ini, semakin banyak gadis yang senasib seperti Rahmi. Sekolah tinggi, pandai, mandiri, tetapi tak bisa memasak, tak suka mencuci ataupun menyapu halaman. Kamarnya penuh buku diktat berantakan, debu di rak buku dan jendela sudah berminggu-minggu belum dibersihkan, tetapi gadis penghuni kamar itu tetap asyik berkutat dengan buku-buku pelajaran dan komputernya.
Jika dilihat dari kesibukan jadwal kuliah dan materi pelajaran yang ekstra berat, kita mungkin bisa memahami mengapa gadis-gadis pandai itu begitu giat belajar hingga melalaikan pekerjaan-pekerjaan teknis. Dianggapnya pekerjaan-pekerjan itu hanya membuang waktu, buang tenaga, tidak bermanfaat, dan terlalu remeh dibandingkan tugas belajar yang berat.
Benarkah pendapat itu?
Tentu saja salah besar. Setiap pekerjaan, seremeh apapun, pasti ada manfaatnya. Khusus untuk pekerjaan-pekerjaan kecil dalam rumah tangga seperti ini, sebenarnya memiliki manfaat cukup besar pula bagi kaum hawa. Apa saja manfaatnya, akan kita bahas berikut ini.


Bukan Pekerjaan Remeh
Pekerjaan memasak, misalnya, akan menajamkan perasaan seseorang. Kepandaian merajang bawang merah dengan sama tipis, sama sekali bukan hal yang mudah. Memperkirakan minyak agar tidak terlalu panas sehingga kerupuk bisa mekar dengan baik sempurna, kuningnya pas, dan tidak terlalu coklat pun butuh kepekaan perasaan. Belum lagi persoalan penataan hidangan di meja makan, bagaimana bisa nampak lebih menarik untuk disantap, semuanya butuh kelembutan perasaan dan keterampilan motorik halus jari-jari tangan. Mencuci, sekilas nampak seperti pekerjaan kasar semata. Ternyata di sana tetap dibutuhkan juga latihan kesabaran. Kaos kaki dekil, hanya bisa dibersihkan dengan menguceknya kuat-kuat berkali-kali. Bagian dalam kerah baju dan saku, perlu gosokan pelan namun teliti karena debunya tersembunyi di bagian yang sulit dikucek. Belum lagi saat menjemurnya. Jika asal-asalan merentangkan jemuran, ketika kering baju menjadi kusut. Tetapi jika dijemur dengan rapi, hati-hati, diluruskan serat-serat kainnya, maka baju akan lebih terawat rapi, tak mudah kusut maupun molor. Begitu juga dengan meyeterika, membutuhkan latihan kesabaran yang tak ringan. Untuk bisa menyeterika kerah baju, bahu yang letaknya menyudut, lipatan-lipatan rok yang harus ditata satu demi satu, semuanya tak bisa dikerjakan dengan kasar dan sembarangan dan membutuhkan ketrampilan motorik halus jari-jari tangan pula.
Bagaimana dengan membersihkan kamar, menata buku, atau memasang vas bunga di meja, apakah semuanya pekerjaan remeh? Sama sekali tidak, karena semua ini akan mempertajam kepekaan para gadis terhadap kebersihan dan keindahan rumahnya kelak. Jika terbiasa dengan kamar seperti kapal pecah, lantas siapa yang nantinya berinisiatif memperindah rumahnya kelak? Padahal merawat bunga dalam pot bukan hal yang ringan. Membersihkan debu di sela-sela susunan buku, di sudut-sudut jendela pun butuh ketelatenan. Apakah harus suami yang mengerjakannya? Atau menggantungkan kepada pembantu? Ada pembantu pun tak akan berguna, jika majikannya tak peka terhadap kebersihan dan keindahan rumah.

Persiapkan Gadis-gadis Kita
Walaupun kita merasa sebagai orang modern, jangan sekali-sekali merasa tak perlu mengajarkan ketrampilan-ketrampilan rumah tangga kepada gadis-gadis kita. Apapun kesibukan mereka, latihlah gadis-gadis itu untuk bisa (walau tak harus pandai) memasak, menjahit, mencuci maupun menyeterika. Seperti yang sudah kita bahas, pekerjaan-pekerjaan tersebut turut berperan dalam membentuk karakter feminin dalam kepribadian mereka. Jika gadis-gadis trampil melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, kepekaan perasaan bisa tetap terjaga, juga kepekaan terhadap kebersihan lingkungan dan tumbuhlah pula cita rasa keindahannya. Kelembutan tangan dan kelincahan motorik halus jari-jari tangan mereka pun tetap terjaga. Dan pada akhirnya, semua itu akan membantu menghaluskan kejiwaan mereka, menumbuhkan kesabaran dan ketelatenannya. Kepribadian yang halus dan lembut seperti ini akan menyeimbangkan kemandirian, kepandaian dan kemampuan rasio yang mereka dapatkan dari sekolah-sekolah formal yang ada.
Di jaman kehidupan Rasulullah, gadis-gadis telah mendapatkan pelajaran mengenai kehidupan berkeluarga sebelum mereka baligh. Sehingga ketika datang saat baligh, mereka telah dewasa dan siap untuk menjalani hidup pernikahan. Apakah terlalu muda? Tidak, karena kepribadian mereka telah cukup matang. Jauh berbeda dengan kepribadian gadis-gadis usia baligh sekarang, yang justru sedang berada dalam masa kritis sebagai remaja yang sedang mencari jati diri. Ini semua gara-gara para orang tua lalai untuk mendewasakan gadis-gadis mereka sebelum baligh.
Karena keadaan memang sudah berbeda, kita pun tak bisa melawan arus dengan mudah. Anak-anak gadis kita tetap harus mengikuti pola perkembangan masyarakat kita, tetapi jangan sekali-sekali lupa untuk tidak memberikan kebutuhan pendidikan kepribadian yang paling mereka butuhkan untuk masa-masa berkeluarganya kelak. Bukankah suami akan lebih sayang jika istri yang memasakkan makanan untuknya?

“dan bekerjalah kamu, maka Allah dan RosulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu dan kamu akan dikembalikan kepada (ALlah) yang maha mengetahui yang ghoib dan yang nyata”

Thursday, September 2, 2010

Revolusi Hijab


12072010
Bus kota yang mengangkut kami dari kota Padang tadi berlalu meninggalkan kami di depan sebuah rumah yang terlihat sederhana namun asri. Aku tergopoh-gopoh membawa barang-barangku yang cukup banyak ke dalam rumah. Disana, kami disambut oleh keluarga penghuni rumah tersebut dengan ramah sekali. Namun, mungkin karena di antara kami berempat juga baru kenal, suasana memang sangat canggung.
Tak lama, mengingat senja semakin berlalu, dan kami belum shalat maghrib, kami pun meminta izin untuk shalat. Uni si pemilik rumah kemudian menunjukkan sebuah kamar tempat aku dan teman sekelompokku yang perempuan akan tempati.
Memasuki kamar, hmm...penerangan yang sangat tidak baik untuk kesehatan mata. Lantai beralaskan tikar plastik yang disambung-sambung. Dinding yang belum di cat.
Aku baru menyadari. Kami -anak KKN di jorongku ini- akan tinggal 1 rumah. Belum lagi laki-laki dewasa yang ada di rumah itu, ada 2 orang. Jilbab, sudah jelas.. tapi memakai kaus kaki sepanjang hari...?? belum kubayangkan sebelumnya.
Dimulailah saat selesai shalat maghrib hari itu.

*
*
Hari kedua KKN saja aku sudah dibuat kaget oleh banyak hal. Pagi itu teman-teman yang cowok mengajak jalan keliling jorong. Namun temanku yang cewek itu tidak memakai jilbab keluar rumah. Ia cuma memakai baju tidurnya. Ini fenomena baru bagiku...; ada anak kuliahan yang tidak memakai jilbab keluar rumah. Oke, aku sering mendengar beberapa orang yang tidak memakai jilbab jika berada dilingkungan rumahnya. Namun kalau disana, kan akan bertemu teman-teman kuliah yang lain, sama aja seperti di kampus. Jadi apa gunanya ia memakai jilbab ke kampus?

Kami berjalan kaki, menyapa setiap orang yang dijumpai. Kami sampai di jorong tetangga. Mampir ke rumah tempat anak KKN jorong tersebut tinggal. Keluarlah salah seorang anak KKN nya yang cewek. JUGA tidak memakai jilbab. Ckckckck...semakin heran aku...

Jujur, setidaknya, aku telah sedikit mewaspadai hal ini. Aku membawa banyak sekali kaus kaki.
dan ternyata, lantai dapurnya termasuk bukan tipe 'lantai kering', jadi agak lembap-lembap gitu.. Namun untungnya, aku juga membawa sandal kain yang buat di rumah. Jadi setiap ke dapur, aku memakainya.
Tapi, yang tetap sulit adalah membuka dan memakai kaus kaki setiap akan masuk dan keluar kamar mandi. Belum lagi jika sedang ada laki-laki di dapur, atau sedang menunggu antrian ke kamar mandi di depan pintu. Ditambah lagi, sebagian mereka tidak mengerti. Sering, setiap aku akan keluar kamar mandi,aku buka pintu sedikit untuk melihat keadaan di luar. Karena aku memakai kaus kakinya di luar kamar mandi, soalnya kalau di dalam kamar mandi jadi basah dong kaus kakinya... Lalu saat aku lihat keluar, ternyata ada laki-laki lagi nunggu di dekat sana, melihat aku membuka pintu. Kemudian aku masuk lagi dan tutup lagi pintunya, berharap dia mengerti dan agak menjauh dari sana. Tapi sewaktu aku buka pintu lagi, ternyata dia masih berdiri disana dan masih melihat ke kamar mandi....aduuhh..... Ini adalah salah satu hal yang membuatku ingin cepat-cepat menyelesaikan KKN.



Banyak juga pertanyaan yang hinggap. Suatu hari seorang adik berumur 5 tahun bertanya,
"Kakak kok pakai kaus kaki terus? dingin ya?"
aku jawab, "iya..."
dia bilang, "buka lah kaus kakinya Kak..." (sambil mengarahkan tangannya ke kakiku, ingin membuka kaus kakiku)
aku menghindar, "eh...jangan...Kakak suka pakai kaus kaki..."

Belum lagi dalam keseharian yang lain. Abang yang tinggal di rumah itu pernah bilang padaku, entah dia bercanda entah serius..
"Nissa bapaham-paham bana gaya Nissa beko awak karajoan Nissa ko. Anak KKN dulu ado nan bantuak Nissa pulo, bajilbab taruih. Awak suruak an jilbabnyo, manangih-nangihnyo."
Indonesian version: “Nissa kalau serius-serius kali nanti saya kerjain. Anak KKN yang dulu juga ada yang seperti Nissa, pakai jilbab terus. Saya sembunyikan jilbabnya, trus dia nangis-nangis”

Aku cuma ngucap mendengar itu..dan timbul ketakutan yang lumayan besar dalam hatiku. Mungkin Abang itu berbicara demikian karena aku tidak mau duduk-duduk di ruang tamu sama yang lain. Pemuda-pemuda jorong lumayan sering main ke rumah itu. Aku tidak mau ikut duduk disana buat ngobrol-ngobrol. Sedangkan temanku yang perempuan mau. Jadi kesannya aku tidak mau sosialisasi. Sejak itu aku agak mencairkan diri. Tetap memakai prinsip, “berbaur tapi tidak melebur”. Aku lebih memilih ini, sebelum ancaman tadi benar-benar diwujudkan.

Namun lama-kelamaan nada pertanyaan-pertanyaan mulai berubah. Seiring dengan ke-konsisten-an yang aku perlihatkan. Suatu hari Nenek di rumah itu pernah bertanya,

“Nissa pesantren dima dulu?”

Aku jawab, “ndak pesantren do Nek..”

Nenek: “apo dulu? MAN? Tsanawiyah?”

Aku jawab: “ndak pernah masuak sekolah agama do Nek..”

Tiba-tiba Uninya datang. “Nissa urang Padang Panjang Mak..urang sinan agamonyo kuek..”

Aku mesem-mesem aja..

Atau sewaktu mandi di sungai. Kami –aku, teman KKN ku yang cewek, beserta adek-adek cewek yang ada disana- pergi ke tempat yang sepi. Hanya sesekali ada orang yang lewat untuk menyeberangi sungai. Aku ikut mandi di sungai, namun tetap memakai jilbab dan memakai rok. Susah..sekali melawan arus karena memakai rok begitu. Namun ya bagaimana lagi..berenang adalah hobiku..makanya aku juga bercita-cita jadi orang kaya agar bisa bikin kolam renang sendiri,,,hhe.... (ngelantur dikit... J )

Sewaktu memakai sampo, aku pakai di dalam jilbab. Adek-adek itu cuma heran melihat tingkahku. Mungkin dalam pikiran mereka,,, “Kak Nissa ni kok begini kali ya...?”

Namun ternyata, lama-lama mereka turut menjaga aku. Pernah waktu itu aku mandi pakai lengan pendek, namun jilbab yang dalam sehingga tanganku bisa ditutupi. Sesaat aku lengah, ternyata ada orang yang lewat, laki-laki. Adek-adek itu langsung bilang “Kak, ada laki-laki Kak...!”

Juga saat akan berganti pakaian, mereka tiba-tiba sudah berdiri mengelilingiku dan membentangkan handuk-handuk mereka yang besar-besar sambung menyambung untuk menutupi aku. Jujur, aku terharu...

Hari kian berganti.. Aku dan adek-adek itu semakin dekat. Sering aku dengar terujar dari mereka begini “Thia nio bana pakai jilbab bantuak Kak Nissa..”

Suatu hari ia bertanya,

28082010

Thia (T) :”Kakak sejak kapan pakai jilbab Kak?”

Aku (A) : “sejak SMP dek...”

T : “langsung kayak gini Kak?”

A : “hmm...waktu SMP tu Kakak pakai jilbab ke sekolah. Terus keluar rumah juga pakai.. Tapi kalau ada tamu ke rumah, Kakak belum pakai... trus waktu SMA Kakak udah pakai jilbab terus kalau ada tamu laki-laki ke rumah. Manset juga udah. Tapi nggak pakai kaus kaki kalau di rumah walau ada non muhrim nya.. Waktu kuliah baru lengap..”

T : (kepada temannya) “tu kan...nggak langsung kayak gini...bisa berangsur-angsur...”

(kepadaku) “Thia mau pakai jilbab Kak, tapi orang sini suka meledek...”

A : “ngapain kata orang dipikirin...coba pikirin apa kata Tuhan...”

T : “tapi kami nggak punya banyak baju lengan panjang Kak...”

A : “pake aja jaket kalau keluar rumah..”

T : “tapi shalat aja kami belum penuh 5 waktu sehari Kak..”

A: “jadikan jilbab itu yang menjaga kita.. Kan malu kalau orang bilang ‘pakai jilbab tapi nggak shalat!’, akhirnya kita jadi shalat. Daripada dosanya double..udah nggak shalat, nggak pakai jilbab lagi..”

Banyak lagi yang jadi kendala bagi mereka..sebisa mungkin berusaha dipatahkan.

29082010

Semalam aku berbuka di Lb. Sikaping. Baru pulang sudah agak larut, hampir semua penghuni rumah sudah tidur. Saat sahur, aku dikejutkan oleh Thia yang sudah memakai jilbab. Senang sekali melihatnya.

Saat subuh, aku mendapat kabar buruk yang menuntut aku agar ke Padang.

Hari itu, aku belum tahu bahwa semua adek-adekku disana sudah memakai jilbab.

30082010

Aku kembali ke Bonjol sore hari. Aku disambut bidadari-bidadari cantik itu, yang sekarang sudah menutup auratnya. Senang..alhamdulillah.. Jujur, lebih membanggakan daripada berhasil melntik dokter-dokter kecil... J

31082010

Perpisahan tiba... mereka semua menangis.. dalam tangis itu, aku meminta mereka berjnji untuk tetap memakai jilbab selamanya. Mereka mengiyakan.. Ya Allah, jaga lah adik-adikku itu...berikanlah keistiqamahan bagi mereka untuk mempertahankan hijabnya. Buatlah mereka menjadi agen-agen baru untuk perubahan di daerah tersebut...ke arah yang lebih baik..