Pages

Saturday, November 21, 2009

Dosa yang Diampuni

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي : الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

[حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala memafkan umatku karena aku (disebabkan beberapa hal) : Kesalahan, lupa dan segala sesuatu yang dipaksa“

(Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dan lainnya)


Dalam hadits Arba'in no. 39 di atas disebutkan bahwa Allah akan mengampuni dosa seseorang yang melakukannya dikarenakan keliru, lupa, atau dipaksa.

Nah, mungkin masih timbul beberapa pertanyaan dalam pikiran kita. Mari kita bahas satu per satu.

1. Keliru (tidak tahu)

Orang yang tidak tahu, tidaklah dia berdosa; hanya saja diwajibkan baginya menuntut ilmu dan bertanya kepada ulama Sunnah.

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui". ( QS. Al-Anbiya :7)


2. Lupa

Orang yang lupa mengerjakan yang wajib, tidaklah ia berdosa karena kelupaannya. Adapun dalilnya kembali kepada firman-Nya:

" Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah" ( QS. Al-Baqarah :286 )

Ibnu Rajab berkata: " Yang nampak bagiku- Wallahu a'lam- sesungguhnya orang yang lupa dan keliru, dia dimaafkan. Karena perbuatan dosa ada kaitannya dengan niat dan kesengajaan, sedangkan orang lupa dan keliru tidaklah dia bermaksud untuk melanggarnya, lantaran itu dia tidak berdosa".

Juga disebutkan dalam firman Allah:

“Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang" (Al-Ahzab:5)

Dosa yang dimaafkan bukan berarti lepas dari seluruh hukuman. Perbuatan seorang mukallaf(yang terbebani kewajiban) jika melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan syariat, maka dia memiliki konsekuensi hukum yang akan ditimpakan kepadanya, yaitu berupa penjatuhan sanksi atau dia dianggap sebagai orang yang berdosa, atau dia harus mengqadha yang tertinggal atau mengganti apa yang dirusak dan yang semisalnya.

Seperti tentang kesalahan dalam membunuh, dicontohkan barangsiapa yang menembak binatang buruan atau musuh namun ternyata mengenai seorang muslim, atau orang yang terpelihara darahnya, maka tidak ada dosa baginya. Walaupun demikian dia tidak dibebaskan dari kewajiban untuk membayar diyat dan kafarat.

Hal yang sama juga berlaku bagi yang mengakhirkan shalat karena suatu halangan atau tertidur, atau lupa, maka tidak ada dosa baginya, tetapi dia tetap diperintahkan untuk mengqadhanya begitu dia bangun atau ingat. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik r.a, dari Nabi SAW, beliau bersabda,

“Barangsiapa yang lupa shalat, maka shalatlah kapan dia ingat. Tidak ada kafarat baginya kecuali itu saja (mengqadhanya)."


Shalat memiliki waktu tertentu dan terbatas, awal dan akhirnya, tidak boleh memajukan shalat sebelum waktunya dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.


Namun jika seseorang tertidur hingga tertinggal mengerjakannya atau dia lupa hingga keluar dari waktunya, maka dia tidak berdosa karena alasan itu. Dia harus langsung mengqadha'nya selagi sudah mengingatnya dan tidak boleh menundanya, karena kafarat pengakhiran ini ialah segera mengqadha'nya. Maka Allah berfirman

"Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku" (Thaha: 14)

3. Dipaksa/terpaksa

Jika seseorang dipaksa untuk mengatakan perkataan kekufuran, maka hendaklah dia mengatakannya dengan kata kiasan atau dengan perkataan yang secara tersirat mengandung arti kekufuran,tidak dengan kata yang jelas-jelas menunjukkan arti kafir, kecuali bagi orang yang dipaksa untuk mengatakannya secara terang-terangan. Maka dibolehkan baginya untuk mengatakannya dengan lidahnya tanpa disertai dengan keyakinan dalam jiwanya, dan hatinya tetap tenteram dengan keimanan, berlapang dada dengan keyakinan dan pengetahuan.

Sebuah kisah di zaman Rasulullah juga bisa menjelaskan tentang keterangan ini. Yaitu mengenaiAmmar bin Yassir bersama keluarganya.

Mereka diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan agama Islam. Kedua orangtua Ammar, Yassir dan Sumayah, tetap berpegang teguh memegang Islam dengan berani berujar di hadapan para musyrikin, “Kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Mendengar itu para musyrikin marah dan akhirnya membunuh keduanya dengan tombak. Atas tindakan itu, akhirnya Ammar tidak bisa apa-apa selain menuruti kaum musyrikin. Akhirnya di hadapan para pemuka musyrikin, ia melontarkan cacian dan makiannya kepada Rasulullah dan langsung menyatakan keluar dari agama Islam. Kejadian itu pun diketahui Nabi. Selang beberapa hari setelah kejadian itu turunlah ayat kepada Nabi,

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (dia tidak berdosa)” (An-Nahl:106)

Berdasarkan ayat ini umat Islam pada waktu itu diizinkan untuk melakukan taqiyah (yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini) dalam rangka menjaga keselamatan. Inilah yang dilakukan Ammar yang terpaksa mencaci maki Nabi dan menyatakan keluar dari Islam untuk penyelamatan jiwanya. Dan tindakan taqiyah yang dilakukan Ammar tadi dibenarkan oleh Nabi, “Kalau mereka kembali menyiksamu lagi, ucapkan cacianmu padaku; Allah akan mengampunimu dikarenakan kamu terpaksa melakukannya.”







Wallaahualam

*Berbagai sumber